Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image >

kelestarian alam ntt

0 komentar


Kerusakan hutan di wilayah kepulauan ini selama 20 tahun terakhir telah mencapai 15.163,65 hektar, dari potensi hutan dan lahan seluas 2.109.496,76 hektar. Menurut Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, di Kupang, Rabu 29 Juni 2011, Luas wilayah daratan di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 47.349,9 km persegi. Dari total tersebut hutan dalam kawasan hutan mencapai 661.680,74 ha dan di luar kawasan hutan seluas 1.447.816,02 ha.
Hal tersebut disampaikan terkait dengan hari Lingkungan Hidup sedunia yang dirayakan setiap tahun pada bulan Juni. Hutan merupakan komponen penting bagi bumi dalam peranannya untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Dan hutan melayani hampir semua kehidupan terutama bagi kepentingan umat manusia sehingga haruslah ada timbal balik dari umat manusia untuk menjaga dan melestarikan hutan sesuai peran dan kemampuan masing-masing. Karena itu, Hari Lingkungan Hidup se-Dunia yang diperingati setiap tahun ini, tidak sekadar seremoni belaka tetapi penting untuk memberikan perhatian dan kepedulian terhadap lingkungan hidup.
NTT selalu mengalami persoalan di bidang lingkungan hidup. Salah satunya cuaca yang kadang tidak menentu. Namun kondisi alam itu tidak perlu ditangisi. Kita harus terus berupaya untuk maju agar kehidupan rakyat bisa lebih sejahtera. Meski terkadang cuaca tidak menentu, semua itu tidak harus menjadi kendala dalam mengolah lahan yang gersang. Terbukti dengan prestasi yang diraih para penerima kalpataru. Para penerima Kalpataru ini telah menanam di atas lahan yang gersang. Dan ini menunjukan bahwa di mana saja lahan itu bisa ditanami.
Penerima kalpataru tingkat Provinsi NTT 2011 sebanyak 12 orang yang terdiri dari 7 orang kategori Perintis Lingkungan, 4 orang kategori Pembina Lingkungan dan satu orang kategori Penyelamat Lingkungan. Selain itu guna memotivasi sekolah-sekolah di Provinsi NTT yang memiliki kepedulian dalam pelestarian lingkungan hidup, maka penghargaan Adiwiyata tingkat provinsi telah diberikan kepada enam sekolah.
13093756431751340139
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup RI, DR. Ir. Gusti Muhammad Hatta, MS, meminta kepada semua pihak untuk memperhatikan dengan serius kerusakan hutan dan perubahan fungsi lahan karena memberikan kontribusi besar bagi memburuknya perubahan iklim di Indonesia. Dan ancaman kelestarian hutan perlu diantisipasi secara optimal dimana seluruh aktivitas pembangunan khususnya yang terkait dengan hutan harus berwawasan lingkungan dan mengacu pada daya dukung dan daya tampungnya. Untuk itu kita jadikan momentum Hari Lingkungan Hidup se Dunia ini untuk memposisikan hutan sebagai modal utama pembangunan nasional menuju masyarakat sejahtera dan berkelanjutan.
Diharapkan kepada semua pihak untuk berpartisipasi menjaga sumber daya alam Indonesia terutama hutan agar dapat bermanfaat secara berkelanjutan.-

kelestarian alam lombok

0 komentar


Industri pariwisata saat ini mulai bangkit dari keterpurukan. Di samping jumlah wisatawan yang makin meningkat, saat ini telah terjadi perubahan pola konsumsi dari para wisatawan. Mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati 3 S (sun-sea and sand), namun pola konsumsi mulai berubah ke jenis wisata yang lebih tinggi yakni menikmati produk atau kreasi budaya (culture), peninggalan sejarah (heritage) dan alam (nature) dari suatu daerah atau negara.


Perubahan pola wisata ini perlu segera disikapi dengan berbagai strategi pengembangan produk pariwisata maupun promosi baik dari pemerintah maupun swasta. Produk pariwisata yang banyak diminati dan berkembang di masa mendatang salah satunya adalah ekowisata (I Gede Ardika, 2006). Tren ekowisata saat ini semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya manusia yang ingin kembali ke alam (back to nature) Potensi Wisata Pulau Lombok Pulau Lombok merupakan salah satu daerah destinasi wisata di Indonesia memiliki keanekagaraman hayati yang sangat tinggi, keunikan dan keaslian budaya tradisional, peninggalan sejarah, bentang alam yang indah, gunung berapi, cagar alam, taman nasional dan pantai berpasir putih, berpeluang besar bagi pengembangan ekowisata (ecotourism) sebagai sumber devisa. Sebagai modal pengembangan ekowisata, daerah ini memiliki berbagai potensi antara lain: Taman Nasional Gunung Rinjani, terletak di Lombok bagian utara dengan luas area taman 41.330 ha, dan dikelilingi oleh kawasan hutan lindung sekitar 51.500 ha. Keindahan danau Segara Anak seluas 1.156 ha dalam perut gunung Rinjani menyimpan banyak misteri dan mampu menyihir sekitar ribuan wisatawan asing dan domestik setiap tahun untuk mendaki gunung yang berketinggian 3.726 m dari permukaan laut ini.

Di sekitar lereng gunung Rinjani terdapat lahan perkebunan dan pertanian yang membentang luas dengan beberapa sumber air terjun yang mempesona. Berbagai jenis flora dan fauna langka dapat dijumpai di sekitar kawasan ini. Tak pelak lagi, gunung Rinjani menjadi incaran pencinta petualangan alam bebas dan memenuhi persyaratan untuk kegiatan ekowisata. Pemandangan alam yang fantastis dapat ditemukan di kawasan hutan Pusuk. Berlokasi di bukit sebelah timur Malimbu merupakan rumah bagi 2 spesies kera dan strategis untuk kegiatan wisata alam seperti camping, napak tilas menyusuri bukit dan lembah-lembah dengan mata air yang jernih. Di bagian utara Suranadi terdapat hutan lindung Sesaot. Kawasan ini termasuk area konservasi alam, banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon besar dan memiliki pemandangan alam yang alami serta sumber mata air yang jernih. Tempat ini merupakan habitat bagi kera dan berbagai jenis burung, menjadi pilihan utama bagi para pengunjung untuk jenis wisata alam, haking, dan bersantai sambil menikmati pemandangan hamparan kebun rambutan dan kopi.

Tak jauh dari tempat ini terdapat taman Narmada, memiliki keunikan tersendiri sesuai dengan latar belakag sejarah. Taman ini di kelilingi oleh bentang sawah dan kebun buah-buahan penduduk setempat, memenuhi persyaratan untuk kegiatan wisata alam dan budaya. Kawasan lain yang berpontesi adalah Bangko-Bangko. Berlokasi di ujung barat daya pulau Lombok, tempat ini memiliki hutan alam yang masih perawan dan menjadi rumah bagi sebagian besar flora dan fauna Lombok. Objek wisata Gili Lawang, Sulat, dan Petangan yang berada di timur laut Lombok juga layak untuk dikembangkan karena kawasan ini dihuni oleh berbagai macam kera dan spesies burung langka, hutan bakau (mangrove), terumbu karang yang terhampar luas. Air terjun Jeruk Manis dan Otak Koko Gading juga sangat berpotensi untuk dikembangkan karena letaknya berdampingan dengan hutan alam. Tidak jauh dari tempat ini, terdapat kawasan wisata Tete Batu. Kawasan ini berlokasi dalam areal lembah gunung Rinjani, memiliki pemandangan yang sangat indah. Berbagai aktifitas ekowisata dapat dilakukan disini, seperti berenang di sungai yang berkelok-kelok dan traking menyusuri kaki gunung Rinjani sambil melihat hamparan tanaman padi dan tembakau penduduk lokal, menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Peluang, Tantangan dan Harapan
Dalam pengembangan kegiatan pariwisata alam terdapat peluang dan tantangan, baik berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Secara ekonomi, pengembangan ekowisata dapat memberi keuntungan bagi masyarakat lokal di sekitar lokasi tujuan wisata, menyediakan kesempatan kerja dan mendorong perkembangan usaha-usaha baru. Dengan pengelolaan yang terpadu, ekowisata berpotensi untuk menggerakkan ekonomi nasional dan mensejahterakan masyarakat di sekitar kawasan wisata. Potensi daerah, pengetahuan operator ekowisata tentang pelestarian lingkungan, partisipasi penduduk lokal, kesadaran wisatawan akan kelestarian lingkungan serta regulasi pengelolaan kawasan ekowisata baik di tingkat daerah, nasional dan internasional adalah faktor yang menentukan keberhasilan ekowisata. Satu hal yang tidak boleh diabaikan berkaitan dengan ekowisata adalah pelestarian lingkungan dan penghargaan atas budaya setempat. Dalam konteks ini, wisatawan dapat diajak untuk mengunjungi bahkan terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti memancing, menumbuk padi, atau membuat barang kerajinan. Donasi dalam bentuk dana yang diberikan oleh wisatawan dapat dikelola dan diarahkan untuk mendorong kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat lokal. Aspek pelestarian lingkungan dan penghargaan atas budaya setempat merupakan bagian dari dampak non ekonomi. Dengan adanya kunjungan wisata dan masukkan unsur pemberdayaan yang tepat, maka pola-pola perilaku negatif seperti penebangan hutan secara liar, perburuan hewan langka, dan pertambangan liar dapat direduksi.

Denyut wisata alam yang makin semarak akan menggembirakan semua pihak. Namun peningkatan industri pariwisata berpotensi terhadap kerusakan alam. Pembukaan daerah rekreasi, wisata alam, wisata bahari dan berbagai wisata minat khusus dan aktifitas wisatawan di laut seperti berperahu, snorkling, diving, dan surfing dapat menyebabkan kerusakan lingkungan pesisir, laut, flora dan fauna yang dapat berakibat buruk bagi keberlangsungan ekosistem setempat seringkali ditimbulkan oleh para wisatawan secara sadar maupun tidak. Langkanya beberapa spesies binatang juga diakibatkan oleh permintaan dan penjualan barang-barang suvenir yang dibuat sesuai dengan keunikan suatu kawasan melalui keunikan benda budaya, flora dan fauna di suatu kawasan konservasi dapat memberikan dampak kepada kerusakan alam. Dampak yang paling dirasakan oleh masyarakat lokal yang tinggal di suatu kawasan wisata adalah pencemaran lingkungan. Sampah yang ditinggalkan wisatawan, kebutuhan air bersih yang meningkat, kepadatan lalu lintas yang menyebabkan pencemaran/polusi udara dan kebisingan adalah beberapa masalah yang mungkin akan timbul. Pencemaran air semakin meningkat sebagai akibat penggunaan pestisida, pupuk dan bahan kimia lainnya dalam upaya meningkatkan keindahan fasilitas kepariwisataan (hotel, lapangan golf, dan kolam renang).

Dampak negatif ini perlu mendapatkan perhatian khusus dan ditanggulangi oleh stakeholder seperti pemerintah, masyarakat, pelaku bisnis, LSM maupun Lembaga Internasional terkait. Dengan adanya ekowisata diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian alam. Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan koordinasi, perencanaan, pelaksanaan serta monitoring pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam. Sektor swasta juga harus berperan aktif dalam pengembangan ekowisata karena produk ekowisata di tingkat dunia telah berkembang sangat pesat, sementara diversifikasi produk wisata Indonesia berjalan sangat lamban. Lombok sebagai destinasi wisata harus mempunyai komitmen yang kuat untuk menjaga kelestarian alam. Dengan bentang alamnya yang indah, keanekaragaman hayati dan budayanya, Lombok dapat menjadi trendsetter dalam pengelolaan ekowisata di Indonesia.

Industri pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tujuan wisata. Model pengembangannya harus ramah lingkungan dan memberdayakan masyarakat lokal secara sosial, ekonomi, dan budaya. Perpaduan antara pemanfaatan dan perbaikan sumber daya alam perlu dipertimbangkan, agar generasi yang akan datang masih dapat merasakan nikmatnya dunia pariwisata Lombok, semoga.

kelestarian alam pekanbaru

0 komentar

"Pergi ke Bengkalis beli cencalok, cencalok dimakan bersama-sama, selamat datang di hari elok, apa kabar kita semua."  Tari melayu indah geraknya, lemah gemulai penarinya, di taman budaya kita bersua, semoga tetap akrab selamanya."
DEMIKIAN sang master of ceremonias  (MC) menyapa duta budaya yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air di  Negeri Seribu Pantun, Pekanbaru, Ibukota Propinsi Riau, Selasa (20/7/2010) petang. Di saat mentari beranjak ke praduan, anak-anak negeri ini bersua muka  menampilkan beragam budaya dan adat istiadat dalam kebhinekaan Indonesia. Di halaman gedung Taman Budaya Riau, bak miniatur Indonesia. Indonesia  elok rupa wajahnya.
Di sini kita menyaksikan Jawa Timur dengan Gulur E Tanah Kapor, Sumatra Utara dengan Sembahen, Lampung dengan Mileh Damakh, Nangggroe Aceh Darussalam dengan Peh Kayee, Sulawesi Selatan dengan musik gambusnya, Kalimantan Selatan dengan Bulan Kutimang, Bulan Kusayang, tuan rumah Riau  dengan Dreem of Damak, Jawa Tengah dengan Wayang Kampung Sekolah, Papua dengan Murka Sang Penguasa Hutan, Kalimantan Barat dengan N ciak Mun Sangun, Kalimantan Timur dengan Belada Sekawanan Burung, Sulawesi Tengah dengan Bukan Vunja Keke, Jambi dengan Luci Genyi, Jawa Barat  dengan tarian kreasinya, Kalimantan Tengah mengusung tarian Wadian Pamungkur Nihi Anak Amu Ngami, Sumatera Barat menampilkan tarian malam, Nusa Tenggara Barat dengan  Lampan Kahat, Yogyakarta menampilkan karya seni Tangis Rimba Raya dan NTT menampilkan tarian Ismiti dari Kabupaten Alor.
Temu Budaya Nasional yang mengusung tema "Seni Menjunjung Alam"  merupakan ajang keprihatinan terhadap kondisi alam yang saat ini makin rusak.  Realita ini menggairahkan kepekaan budayawan terhadap lingkungan alam yang semakin rapuh dengan mementaskan berbagai seni tari, teater dan puisi bernuansa pelestarian alam.
Temu budaya yang diikuti seluruh taman budaya  di Indonesia, merupakan ajang yang diharapkan mampu menyadarkan pihak pemangku kepentingan untuk lebih memperhatikan alam. Apalagi kerusakan alam bukan hanya cerita di media, tetapi  sudah dirasakan oleh kita, dengan perubahan cuaca yang drastis dan bencana yang mengancam nyawa dan harta benda. Gempa bumi dan tsunami Aceh dan  Padang  di tanah Sumatra menjadi contoh nyata bahwa alam murka kepada manusia yang kerap merusak hutan dan alam negeri ini.   Wadah temu budaya nasional  menjadi  ruang ekspresi  terjadinya silahturahmi kesenian, menampilkan  keragamanan   dalam  bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NTT pun tak ketinggalan. Taman Budaya NTT memboyong sekelompok pemuda menampilkan tarian Ismiti yang mencerminkan betapa pelestarian alam di Nusa Flobamora telah lama digalakan nenek moyang kita. Tarian ini memeragakan bagaimana nenek moyang kita di Kabupaten Alor lebih memilih melestarikan alam lingkungan dengan menanam tanaman buah-buahan sehingga bisa memberikan fungsi ganda.    
Di ajang Temu Budaya Nasional ini, selain digelar  festival budaya, juga dilangsungkan berbagai kegiatan seperti pameran kuliner, seni masuk sekolah dan penanaman pohon.  Temu budaya ini merupakan bentuk kearifan pelaku seni untuk bersama-sama menjaga alam lingkungan serta menyadarkan masyarakat akan pentingnya memelihara lingkungan.    
Pemangku kekuasaan negeri ini menyadari bahwa seni mengambil peranan penting dalam peradaban umat manusia. Seni melakukan pencatatan, pendokumentasian dan rekam jejak sekaligus refleksi terhadap perkembangan umat manusia. Seni juga memberikan pencerahan terhadap berbagai kondisi yang stagnan, kesuntukan dan berbagai keadaan yang buntu sehingga umat manusia dapat menyadari eksistensinya bagian dari isi bumi ini.  (bersambung)       

kelestarian alam bengkulu

0 komentar


Salah satu yang menjadi motor penggerak perekonomian di luar migas adalah sektor pertanian. Sektor ini tidak saja mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian tetapi juga mampu menyerap tenaga kerja yang relatif lebih besar.
Menurut data Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu, luas lahan sawah yang mempunyai saluran irigasi teknis seluas 22.598 ha, sawah non irigasi teknis seluas 68.232 ha dan luas lahan palawija, hortikultura dan sayur-sayuran seluas 386.881 ha. Sedangkan, panjang saluran irigasi primer, sekunder, dan tersier, secara keseluruhan sepanjang 583,89 km. dengan spesifikasi tersebut, Provinsi Bengkulu berhasil memproduksi padi sebanyak 3,755 ton/ha.
Berdasarkan data Departemen Kehutanan, luas hutan seluas 920.753,50 ha dengan hasil hutan Kayu Bulat sebanyak 29.945,10 m³ kayu gergajian sebanyak 23.151,94 m³ rotan: 177.200 batang dan damar: 312.500 batang. Sedangkan menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, tercatat luas Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seluas 444.882 ha, luas Hutan Lindung 252.042 ha, hutan produksi terbatas seluas 182.210 ha, hutan produksi tetap seluas 34.965 ha dan Hutan Fungsi Khusus seluas 6.865 ha.
Di bidang kelautan dan perikanan, menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan, Provinsi Bengkulu memiliki potensi sebesar 145.334 ton dengan hasil 39.203,3 ton. Pada bidang produksi peternakan, Departemen Pertanian mengeluarkan data, yakni sapi potong sebanyak 84.943 ekor, sapi perah sebanyak 194 ekor, kerbau sebanyak 49.024 ekor, kambing sebanyak 110.611 ekor, domba sebanyak 6.655 ekor, babi sebanyak 2.153 ekor, kuda sebanyak 65 ekor, ayam buras sebanyak 2.797.876 ekor, entok sebanyak 48.029 ekor, angsa sebanyak 6.210 ekor dan puyuh sebanyak 10.717 ekor.
Potensi perkebunan sangat ditunjang dengan luas lahan perkebunan seluas 1.978.870 ha dengan hasil antara lain sawit sebanyak 703.335,60 ton, karet 72.248,89 ton, kopi robusta 55.461,39 ton, kopi arabika 2.466,36 ton, kakao 1.523,93 ton, kelapa dalam 5.983,21 ton, lada 3.284,92 ton, cengkeh 64,26 ton, aren 1.862,40 ton, kayu manis 719,06 ton, pinang 465,59 ton dan kemiri 3.082,90 ton.
Data dari Departemen ESDM, Provinsi Bengkulu memiliki potensi pertambangan dan energi diantaranya lima yang terbesar, yaitu: batu bara, emas, pasir besi, batu apung, bentonit. Hasil produksi batu bara tercatat sebanyak 673.542.000 ton.

kelestarian alam bangka

0 komentar

MASALAH kerusakan lingkungan bukan lagi suatu hal yang baru di telinga kita. Saking familiarnya hal tersebut, kita dengan mudah dan sistematis dapat menunjuk apa saja jenis kerusakan lingkungan yang terjadi serta menyebutkan akibat yang akan muncul dari kerusakan tersebut.  

Misalnya, dengan cepat dan sistematis kita tahu bahwa ekploitasi alam dan penebangan hutan secara berlebihan akan mengakibatkan banjir, tanah longsor atau kekeringan. Membuang limbah industri ke sungai akan menggangu kematian ikan dan merusak habitatnya. Penangkapan ikan dengan dinamit akan menyebabkan rusaknya terumbu karang dan biota laut lainnya, dan masih banyak lagi jenis sebab akibat yang terjadi dalam lingkungan hidup kita.

Dari beberapa contoh pengetahuan kita terhadap sebab akibat dari tindakan terhadap lingkungan hidup di atas sayangnya ia tidak terjadi dalam pemeliharaan dan atau perawatan lingkungan hidup. Pengetahuan kita hanya seakan terhenti pada ‘mengetahui’ tanpa diikuti oleh kesadaran akan perawatan atau pemeliharaan lingkungan hidup. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kita tidak lagi bisa berfikir secara jernih, logis serta sistematis lagi sehingga pengetahuan atau tindakan kita untuk mengeksploitasi alam hanya terhenti pada pengetahuan atau tindakan pengekploitasian semata tanpa diikuti dengan rasa tanggung jawab untuk memelihara dan merawatnya.

Lemahnya kesadaran kita akan arti penting memelihara dan menjaga lingkungan hidup mungkin disebabkan oleh anggapan kita yang menganggap tindakan ekploitasi tersebut adalah hal yang wajar. Wajar karena kita adalah manusia yang di ciptakan oleh Tuhan sebagai khalifah, sebagai pengganti-Nya sekaligus penguasa atas ciptaan-Nya yang lain di muka bumi. 

Sebagai penguasa, maka manusia berhak melakukan apa saja terhadap yang dikuasainya termasuk terhadap alam. Menebang pohon untuk kebutuhan manusia adalah hal yang sangat wajar, misalnya. Menambang untuk mencukupi keinginan hidup termasuk hal yang lumrah, atau dalam skala kecil membuang sampah sembarangan adalah juga termasuk hal yang biasa, tidak ada aturan tegas baik itu pemerintah apalagi agama yang mengatur hal tersebut.  Namun, apakah semua  anggapan kita di atas sepenuhnya benar? Dan apakah pemaknaan kita terhadap istilah khalifah seperti tersebut di atas sudah sesuai dengan sifat Kasih, sifat Sayang, dan sifat Pemeliharaan Allah atas semua ciptaanNya?

Makna Ke-khalifah-an 

Jabatan khalifah untuk manusia secara ekplisit telah disebutkan oleh Allah di banyak ayat dalam al-Quran. Salah satu ayat yang paling masyhur tentang ke-khalifah-an manusia tersebut adalah ayat  165 QS. Al-Anam ; Dan Dia lah yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di muka bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat.
Namun apa makna istilah khalifah dalam ayat di atas? Istilah khalifah dalam bahasa Arab sering diartikan sebagai pengganti yang dalam konteks ‘khalifatullah’ diartikan sebagai menggantikan malaikat untuk mengurus bumi atau mendapat amanah dari Allah untuk mengelola bumi. Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah ini sering diterjemahkan dengan istilah viceregent yang berarti wakil yang berfungsi untuk mengawasi, menata atau menjaga serta melindungi suatu wilayah (guardianship). 

Berdasarkan makna pemakaian kata khalifah di atas, kita bisa mengerti bahwa jabatan khalifah yang disandang oleh manusia itu berarti sebuah jabatan yang diamanahkan oleh Allah kepada manusia untuk mengawasi, menata, menjaga atau melindungi semua ciptaanNya yang terdapat di muka bumi, termasuk alam atau lingkungan hidup. Bukan sebaliknya, yakni sebuah jabatan yang difungsikan untuk menguasai yang bertendensi mengekploitasi bumi atau alam seperti yang selama ini kita pahami.  

Tugas pengawasan dan penjagaan tersebut tentunya bukan berarti manusia dilarang untuk memanfaatkan hasil atau kekayaan yang dimiliki oleh atau berasal dari bumi. Memanfaatkan hasil atau kekayaan bumi untuk kebutuhan manusia itu bahkan dianjurkan oleh Allah selama hal tersebut tidak melampaui batas atau mengarah pada tindakan ekploitatif terhadap bumi. 

Hal ini misalkan termaktub dalam QS. Al-Baqarah; 60, Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan, dan QS. Al-Araf: 31, Hai Manusia Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Dua dari banyak ayat yang menjelaskan hal serupa, cukup bagi kita sebagai acuan untuk merenungi bahwa tindakan kita yang berlebihan terhadap lingkungan merupakan suatu hal yang tidak mencerminkan sifat seorang khalifah seperti yang telah Allah amanahkan kepada kita, karena di samping hal tersebut tidak mencerminkan sifat Kasih, sifat Sayang, dan sifat Maha Pemeliharanya Allah sebagai ‘aktor’ yang kita wakili, sikap berlebihan dan menguasai (mengekploitasi) juga mengindikasikan arogansi dan kepongahan kita terhadap ciptaan Allah yang lain. 

Apa yang Harus Dilakukan?

Sebagai pengemban amanah menjadi khalifah ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan untuk dilakukan.

Sebagai pengambil kebijakan, misalnya, maka peraturan dan atau perundang-undangan yang berwawasan keadilan lingkungan harus ditegakkan secara maksimal tidak hanya sebatas dalam ranah retorika. Sebagai seorang pendidik, penanaman nilai-nilai ekologi seperti menghargai, rasa sayang, dan ramah terhadap alam dan lingkungan, kepada peserta didik harus dikembangkan dalam setiap proses pembelajaran yang tentunya diawali dengan sikap keteladan. Sebagai seorang petani, pedagang, dan peran sosial masyarakat lainnya, mengerti dan memahami akan pentingnya peranan alam atau lingkungan sebagai sumber kehidupan kita harus terus disadari dan diejawantahkan dalam setiap aksi dan aktifitas sehari-hari.   

Sebagai seorang agamawan, pemahaman akan teks-teks keagamaan yang berwawasan lingkungan harus mulai digalakkan, mulai dari materi-materi ceramah yang akan disampaikan, perumusan hukum-hukum islam yang akan melahirkan fiqh lingkungan (Fiqh al-Biah), hingga mengadakan aksi-aksi social yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan seperti eco-pesantren harus diprioritaskan dalam program-program keagamaan sebagai salah satu bagian dari usaha dalam menjalani peran sebagai khalifah Allah di muka bumi. 
     
Dengan adanya kesadaran dari masing-masing kita dalam memahami tugas ke-khalifah-an yang telah Allah amanahkan ke pundak kita, pengrusakan terhadap lingkungan atau alam sebagai sumber kehidupan kita kiranya bisa diminimalisasi dan atau bahkan diakhiri, semoga.***


kelestarian alam padang

0 komentar


ANGGREK HITAM CAGAR ALAM PADANG LUWAY

Siapa yang tak mengenal anggrek hitam (Coelogyne pandurata)?Keelokannya telah tersohor ke seantero Indonesia bahkan dunia. Flora ini merupakan spesies asli Kalimantan. Salah satu habitatnya berada di Cagar Alam Padang Luway yang secara administrasi terletak di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Sekolaq Darat, Kecamatan Melak dan Kecamatan Damai,Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Padang Luway merupakan kawasan hutan kerangas, yang tanahnya berupa kersik (pasir) yang berwarna putih. Tumbuhan yang ada di kawasan ini didominasi oleh jenis Medang (Dehasia sp), Way (Euginia sp), Karet (Havea sp), Pelawan (Tristania obovata) dan Pelaga (Schima wallichii). Selain itu di kawasan ini juga dijumpai tumbuhan berkhasiat obat yang terkenal yaitu pasak bumi (Eurycoma longifolia). Satwa yang ada di kawasan ini antara lain babi hutan, warik, rusa, kijang, biawak dan beberapa jenis burung seperti rangkong, punai, parkit, pergam dan gagak.
Padang Luway ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Alam melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 792/Kpts/Um/10/1982 tanggal 29 Oktober 1982 tentang Pengukuhan Perluasan Cagar Alam Padang Luway dari 1.000 Hektar menjadi 5.000 Hektar. Berdasarkan hasil rekonstruksi batas Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IV pada tahun 2006 lalu, luasnya sebesar 4.896,35 Ha. Pengelolaannya berada pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur (Anonim, 2009).
Anggrek hitam sangat mudah dijumpai di kawasan Cagar Alam Padang Luway yang merupakan habitat asli jenis flora tersebut. Sebagai tumbuhan epifit, anggrek hitam hidup menempel pada batang kayu atau pohon, disamping beberapa diantaranya tumbuh di lantai hutan pada batang kayu yang telah rebah.
Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata)
Anggrek Hitam memiliki nama ilmiah Coelogyne pandurata. Tumbuhan ini hidup bergerombol membentuk rumpun. Bagian pangkalnya memiliki umbi yang berbentuk bulat telur agak pipih, dengan dua helai daun elips yang menjulang ke atas. Kebanyakan orang mengira bahwa bunga anggrek hitam berwarna hitam secara keseluruhan. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Bunga anggrek hitam berbentuk tangkai dengan jumlah kuntum bunga antara 5-10 kuntum per tangkai. Warna bunganya didominasi oleh warna hijau kekuningan pada bagian kelopak dan mahkotanya, sedang bagian bibir bunga berwarna hitam dimana bagian dalam terdapat bintik-bintik warna hitam dengan kombinasi garis-garis hitam. Keindahannya bisa dinikmatai saat musim berbunga tiba.
Musim berbunga Anggrek Hitam biasanya terjadi pada akhir tahun antara bulan Oktober sampai Desember. Ketika musim bunga, terdapat ratusan kuntum bunga yang bisa kita temui di sana. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, anggrek hitam memiliki daya mistis. Masyarakat Dayak sangat menghormati anggrek hitam, mencurinya berarti merupakan pelanggaran terhadap hukum adat yang sulit terampuni.
Selain anggrek hitam, di dalam kawasan ini juga dapat dijumpai beberapa jenis anggrek lain seperti anggrek tebu (Gramatophyllum speciosum), anggrek merpati (Dendrobium cruminatum), anggrek merpati tanah (Bromheadia finlaysoniana) dan beberapa jenis anggrek lainnya. Selain itu dijumpai pula tumbuhan karnivora jenis kantong semar (Nepenthes sp).
Seiring dengan perkembangan waktu, keberadaan anggrek hitam di Cagar Alam Padang Luway kian terancam. Kebakaran hutan yang terjadi hampir sepanjang tahun merupakan ancaman serius akan keberadaannya. Kebakaran hebat beberapa tahun lalu sempat memporakporandakan kawasan ini dan sekarang menyisakan lahan kosong yang telah ditumbuhi semak belukar.  Sebaran anggrek hitam di kawasan Cagar Alam Padang Luway saat ini hanya tersisa ± 45 Ha dari luas total kawasan sebesar 5000 Ha, yaitu yang terdapat di Kersik Luway. Sisanya berupa semak belukar, padang ilalang, areal terbuka dan perkebunan karet milik masyarakat setempat.
Aktivitas masyarakat setempat juga turut memberikan dampak negatif kepada kawasan ini. Di dalam kawasan Cagar Alam, dengan mudah dapat dijumpai perkebunan karet milik masyarakat. Sungguh ironis memang, kawasan yang seharusnya dijaga keasliannya justru digunakan sebagai tempat bercocok tanam. Selain itu ditemukan pula pemukiman penduduk.
Selain ancaman kebakaran dan perambahan, adanya kebijakan Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Barat dengan memfungsikannya kawasan Cagar Alam Padang Luway sebagai tempat wisata semakin menambah peliknya permasalahan di kawasan ini. Padahal jika dilihat statusnya yang merupakan Cagar Alam, seharusnya kegiatan yang diijinkan hanyalah untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lain yang menunjang budidaya. Pencurian, sampah dan terganggunya habitat merupakan beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan wisata.
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan Balai KSDA Kalimantan Timurtahun 2008, sampai saat ini di kawasan ini telah berdiri beberapa bangunan pendukung kegiatan pariwisata seperti: pusat informasi wisata bagi pengunjung (information center), sarana untuk berjualan makanan (gerobak/display untuk menaruh dagangan) dan portal masuk ke kawasan Cagar Alam. Belum lagi adanya pembangunan jalan pengangkut Batubara PT. Trubaindo yang lokasinya sangat dekat dengan batas Cagar Alam Padang Luway. Dikawatirkan jalan tersebut akan bertambah lebar dan semakin mengancam keberadaan Cagar Alam Padang Luway (Anonim, 2008).
Balai Konservasi Sumber Daya Alam sebagai institusi yang mengelola kawasan ini telah, sedang dan akan melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menjaga eksistensi kawasan ini. Dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki, Balai KSDA Kaltim telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan diantaranya, melakukan komunikasi dan sosialisasi dengan Dinas Pariwisata Kutai Barat dalam rangka menghentikan kegiatan wisata di Cagar Alam, menurunkan tingkat perambahan kawasan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan, pembentukan kader konservasi dan sosialisasi peraturan perundang-undangan untuk meningkatkan kepedulian terhadap kawasan konservasi, perlindungan kawasan melalui kegiatan penjagaan kawasan dan pembentukan posko pemadam kebakaran yang bekerja sama dengan masyarakat dan instansi terkait.
Kegiatan yang sedang dilakukan diantaranya seperti operasi fungsional kawasan, patroli rutin kawasan, pengamanan rutin kawasan, operasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran, sosialisasi penngendalian kebakaran hutan dan lahan melalui rapat koordinasi dan pembagian poster. Pada tahun 2010 Balai KSDA Kaltim berencana membangun gedung kantor Daerah Operasi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (DaOps Dalkarhut), seperti yang telah dilakukan di Kabupaten Paser. Diharapkan dengan berdirinya kantor DAOPS Dalkarhut di Kabupaten Kutai Barat, permasalahan yang terkait dengan kebakaran hutan bisa segera teratasi.
Dengan banyaknya permasalahan yang terjadi di kawasan Cagar Alam Padang Luway semoga tidak malah menciutkan nyali kita dalam upaya menjaga kelestarian Cagar Alam Padang   kontribusi dalam menjaga kelestarian anggrek hitam khususnya dan spesies lain yang menggantungkan hidupnya pada Cagar Alam Padang Luway. Semoga.

kelestarian alam orang hutan

0 komentar


ORANGUTAN DAN KELESTARIAN ALAM KITA

Posted by pak cah on April 25, 2011
(Seri Indonesia dan Kita – 11)
Bagaimana kita membaca mimik wajah binatang yang kita lihat di Taman Safari ? Apakah itu wajah yang senang karena dipelihara dan dimanja, ataukah wajah kesedihan karena menjadi tontonan dan telah kehilangan hutan ? Sayang, kita tidak bisa banyak bertanya kepada para binatang yang menjadi obyek wisata itu. Namun paling tidak, setiap kali kita ke kebun binatang atau ke Taman Safari, selalu mengingatkan kita tentang alam yang semakin terancam kelestariannya.
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi (lagi) Taman Safari di Cisarua, Bogor. Salah satu obyek menarik adalah beberapa binatang yang dilindungi, dan dijadikan hiburan untuk berpose bersama para pengunjung. Dengan membayar sepuluh ribu rupiah, kita berkesempatan masuk ke dalam arena satwa tertentu, dan berpotret bersama binatang dengan dipandu seorang petugas. Ada harimau dan orangutan yang telah dilatih untuk berpose bersama manusia.
Saya memilih berpose dengan orangutan, saya kira karena bentuknya sangat mirip dengan manusia, sehingga lebih adil membandingkan siapa yang lebih cakep dari kami berdua. Saya duduk di arena yang telah disediakan, dan dengan sangat terlatih, oarangutan itu duduk di pangkuan saya bahkan tangannya merangkul saya dari arah atas. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran orangutan tersebut, kalau saja ia berpikir. Saya juga yakin, orangutan itu tidak tahu apa yang saya pikirkan saat berpose bersama itu.
Pikiran saya memang menerawang jauh, ke dalam hutan-hutan kita di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, yang semakin kehilangan fungsi. Hutan kita telah banyak digunduli, hutan kita telah banyak menjadi sarang penyamun berdasi. Hutan kita telah tidak rimbun lagi, karena banyaknya penebangan liar, pencurian kayu, pembakaran hutan, dan alih fungsi hutan. Akhirnya hutan tidak lagi menjadi rumah yang nyaman bagi satwa liar, yang menjadi salah satu penjaga ekosistem kita.
Kisah orangutan kita sangat mengenaskan. Sampai sampai Presiden SBY menyampaikan peringatan, ”Populasi orangutan berkurang karena hutan sebagai rumahnya makin mengecil. Dengan melestarikan hutan, kita akan melestarikan orangutan”. Namun sayang, peringatan ini baru sebatas ungkapan yang belum ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang tegas dalam menjaga dan memelihara hutan kita. Masih sangat banyak kalangan pejabat ikut terlibat merusak hutan.
Sejarah orangutan dimulai pada periode Pleiston, dua juta hingga satu juta tahun yang lalu, dengan penyebaran hampir mencakup sebagian besar Asia Tenggara. Populasi orangutan perlahan namun pasti semakin berkurang dan hanya dapat dijumpai di daerah Kalimantan dan Sumatra. Dengan kata lain, orangutan sekarang pada tahap akan punah. Hal ini dapat kita lihat pada Daftar Merah Mamalia IUNC (IUNC Red List of Mammals), berdasarkan Appendix 1 CITIS, populasi orangutan Borneo diperkirakan tingal sekitar 50.000 individu saja di alam, sedangkan spesies Sumatra hanya tersisa tidak lebih dari 6.650 individu saja. Jumlah yang sangat sedikit.
Sesungguhnyalah spesies orangutan Borneo atau orangutan Kalimantan, semakin lama semakin mengenaskan. Habitat aslinya yang berupa hutan telah beralih fungsi menjadi areal tambang, perkebunan, pertanian, atau mengalami kebakaran. Lebih tragis lagi, orangutan telah diperdagangkan untuk bisnis satwa yang beromset milyaran rupiah. Contoh terakhir, 50 ekor orangutan kita menjadi koleksi hiburan di Thailand, dan untuk memulangkan kembali perlu negosasi yang panjang dan rumit. Dalam dunia perdagangan satwa, seekor orangutan bisa terjual di pasaran internasional antara liamaratus juta sampai satu milyar rupiah.
Sebenarnya sudah ada undang-undang yang melindungi orangutan ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1990. Secara tegas undang-undang tersebut melarang individu untuk menangkap, memelihara, memindahkan dan memperdagangkan hewan yang dilindungi dalam kondisi hidup, atau mindahkan hewan yang dilindungi di dalam atau di luar wilayah Indonesia. Namun beginilah wajah hukum di negara kita, selalu ada negosiasi dalam pelaksanaannya. Selalu ada upaya untuk menghindarkan diri dari jeratannya. Semua bisa diatur, semua bisa diminta “kebijaksanaannya”.
Hal yang perlu disadari oleh semua komponen bangsa adalah, bahwa orangutan dan hutan memiliki ikatan yang kuat dan saling membutuhkan. Mereka hidup, berkomunitas, berkegiatan, merasakan kebebasan, dan akhirnya akan mati di hutan. Bila orangutan merasa terganggu, berarti hutan sudah tidak lagi menjadi rumah yang aman dan nyaman baginya. Hutan kita sudah menjadi ajang kerakusan manusia. Akhirnya satwa pun merasa tidak nyaman tinggal di dalamnya. Kerusakan negeri kita karena korupsi dan kolusi, bisa dilihat dari wajah hutan dan wajah orangutannya.
Konservasi orangutan dan habitatnya, tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem yang lain, namun juga mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang besar untuk menghadapi ancaman perubahan iklim global. Akibat kerakusan, keserakahan, ketamakan dan kebiadaban manusia, hutan kita semakin tidak nyaman bagi satwa. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus terjadi, akan berpotensi semakin merusakkan keseimbangan alam dan kehidupan. Hidup kita semakin terancam, karena udara segar hutan yang bisa menyeimbangkan polusi kota, akan semakin mengecil dan memudar perannya. Fungsi hutan untuk mencegah pemanasan global semakin tidak berarti.
Sungguh, saat memangku orangutan di arena Taman Safari Cisarua, yang terbayang oleh saya adalah betapa kejinya manusia. Hukum mereka langgar, hutan mereka gunduli, satwa mereka perdagangkan, konservasi alam mereka korbankan, kayu mereka curi, aparat penegak hukum mereka beli. Komplit sudah penderitaan siapapun yang tinggal di negeri ini, baik hutan, satwa, tumbuhan maupun manusianya sendiri. Tak ada tempat yang aman dan ramah lagi. Kota sudah penuh polusi. Perkantoran sudah penuh korupsi dan kolusi. Hukum sudah penuh negosiasi. Hutan sudah semakin digunduli.
Mungkin lebih enak menjadi orangutan, karena kelak tidak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.

kelestarian alam surabaya

0 komentar


Pelestarian alam di Taman Eden 100

6 FEBRUARI, 2008
oleh pamita
Imran Napitupulu          [Pertahankan Keutuhan Ekosistem]  
Salah satu upaya umat manusia untuk mengurangi Efek Rumah Kaca, adalah dengan memperbesar penyerapan emisi karbon. Yakni, dengan memperbanyak pohon dan tanam-tanaman. Ekosistem hutan harus dipertahankan. 
Terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, merupakan tantangan lingkungan hidup paling berat yang dialami umat manusia. Semua bisa terjadi, akibat pembakaran bahan bakar fosil. Karenanya, pengurangan emisi dari deforestrasi dan degradasi hutan di negara berkembang, merupakan isu terkini yang menjadi agenda utama pada Konfrensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim ke-13 bulan Desember 2007 di Bali.
Terjadinya pemanasan global yang terlampau ekstrim adalah akibat pembakaran fosil. Terutama, batu bara, minyak bumi dan gas alam yang berlebihan. Pembakaran tersebut melepaskan gas-gas berbahaya ke atmosfir bumi. Di antaranya, karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lain yang disebut gas rumah kaca. Lalu, akan menimbulkan efek rumah kaca, yakni makin tingginya suhu bumi akibat pemanasan global. Pola iklim akan berubah akibat dari kenaikan suhu, melelehnya es abadi dan perubahan arus laut. Untuk itu, keutuhan ekosistem perlu dipertahankan.
 Upaya pelestarian lingkungan, dilakukan sosok fenomenal Marandus Sirait. Taman Wisata Eden 100, di desa Lumban Rang Kec. Lumban Julu Tobasa, sekitar 40 KM dari ibukota Balige, dikelolanya menjadi objek wisata minat khusus. Aktivitas tersebut, termasuk salah satu upaya dalam mengurangi efek rumah kaca. Tujuannya jelas, yaitu memperbanyak penyerapan emisi karbon. Namun, hutan Indonesia luasnya 120,3 juta Ha, sehingga sulit diyakini, emisinya akan mampu diserap secara signifikan.  
Beberapa puluh tahun lalu, pada awalnya Op. Brian Sirait (70) ayahandanya Marandus mengkoleksi berbagaispecies tanaman. Kemudian, ditanam di areal seluas 40 Ha milik keluarganya. Selanjutnya, gagasan ini diteruskan Marandus, yang sangat piawi bermain musik. Obsesi dan kecintaan terhadap lingkungan, menghantarkannya hingga mendapat penganugerahan Kader Konservasi Alam Terbaik Sum. Utara tahun 2001, dan penerima Piala Kalpataru Perintis Lingkungan 2005.
 Koleksi yang ada dari ratusan species tanaman di sekitar kawasan taman Eden 100, baru-baru ini ditambah Kadis Pertanian Tobasa Ir. Horas L. Silitonga MM. dengan menanam sebatang pohon Mangga (ambasang), melalui Kabid Perikanan Ir. Tua Pangaribuan, didampingi stafnya Amser Nababan. Komoditi ini merupakan pilihan Kabag TataUsaha Dinas Pertanian Tobasa, Armida Sibarani, SH. Mangga yang ditanam persis di bawahcamping area yang berfungsi ganda sebagai heli pad. “Untuk memudahkan akses transprortasi dari udara” ujar Marandus. 
Bentuk perhatian serupa, diekspresikan perwakilan Koran Nasional Pos Tobasa dengan menanam pohon beringin. Persis, berdekatan dengan koleksi tanaman Joy Tobing (Indonesian Idol 2006). Marandus meregistrasinya sebagai tanaman Koran Nasional Pos. Beringin melambangkan jenis pohon besar yang kuat dan kokoh. Bisa berumur ratusan tahun. Mampu memberi keteduhan dari kanopinya yang luas. Komoditi ini, merupakan pilihan Brilian Mukhtar, SE pendiri Koran Nasional Pos, www.nasionalpos.com.
Aksi Penanaman Serentak Indonesia, diselenggarakan bersamaan di berbagai daerah seluruh tanah air. Sebanyak 79 juta pohon ditanam di Indonesia. Kemudian, 10 juta pohon ditanam dalam aksi Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon. Hal tersebut merupakan sumbangsih bangsa Indonesia dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan, serta upaya menanggulangi pemanasan global.
Dalam konteks yang sama, Ir. Monang Naipospos, www.tanobatak.wordpress.com, juga menanam Andalehat(sejenis tanaman khas bangso Batak yang sudah langka). Sebagai bentuk keperdulian, untuk mempertahankan hutan dari ancaman degradasi dan deforestrasi.
Jelajah hutan mengelilingi Taman Eden 100, akan memperkenalkan pengunjung dengan ratusan species pohon langka. Termasuk di antaranya tanaman obat, dengan berbagai khasiat dan keunikannya. Juga berbagai tanaman langka, seperti andaliman, mobe, antarasa, hori, singkam serta berbagai jenis tanaman lainnya.
 Kicau burung dan sabda alam akan melukiskan nuansa tersendiri yang luar biasa. Sangat spektakuler. Layaknya, persis dalam dunia extravaganza. “Di sini, kami juga sekaligus sebagai bank pohon. Mendistribusikannya kepada siapapun yang concern dengan pelestarian lingkungan” terang Marandus.

kelestarian alam madura

0 komentar


BAB II
HUKUM PERLINDUNGAN ATAS SUMBER DAYA ALAM
Dalam hubungannya dengan perlindungan sumber daya alam non-hayati dan sumber daya alam sebagai subsistem-subsistem dalam keseluruhan ekosistem, di samping subsistem sumber daya manusia dan subsistem sumber daya buatan, adalah menarik dikemukakan pendapat Stone mengenai hak yang ada pada sumber daya alam. Dalam tulisannya “Should trees have standingToward legal right for natural objects” (Dapatkah pohon mempunyai kemandirian? Menuju hak hukum terhadap objek alam -penulis), ia mengemukakan bahwa mula-mula orang menganggap bahwa hanyalah keluarga orang itu yang mempunyai hak; orang lain di luar keluarganya itu adalah ‘suspect”, alien, rightless” (dicurigai, asing, tidak berhak -penulis). Malahan di dalam keluarga sendiri, anak tadinya pun tidak mempunyai hak. Baru kemudian hak anak mendapat pengakuan. Lambat laun orang-orang lain juga mempunyai hak, seperti misalnya tahanan, orang asing, wanita, orang kurang ingatan, orang kulit hitam, janin dalam kandungan dan lain-lain.
Kemudian bukan hanya manusia yang mempunyai hak. Dunia hukum dihuni pula oleh pemegang-pemegang hak yang bukan manusia, seperti perusahaan, kotamadya, persekutuan, negara dan sebagainya. Stone mengemukakan, bahwa kita kini telah terbiasa untuk berbicara mengenai “corporation having its own rights”, (peru.sa.haan mempunyai hak sendiri -penulis) dan “being a person and citizen”(seseorang dan warga negara -penulis) untuk keperluan bermacam-macam peraturan. Sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya dan dianggap mustahil (unthinkable) kemudian menjadi kenyataan dan hal-hal semacam ini berkali-kali terjadi dalam sejarah perkembangan hukum. Dan berdasarkan observasi inilah, Stone menyarankan agar diberikan juga hak kepada hutan, samudra, sungai dan sumber daya alam lainnya yang ada dalam lingkungan, malahan sekaligus kepada lingkungan hidup itu sendiri.
1.    Hukum Perlindungan AtasTanah
Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dengan Pasal 11 UU Lingkungan Hidup (pengaturan perlindungan sumber daya alam nonhayati) adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.3 Pengaturan mengenai tata guna tanah didasarkan atas pasal 14 dan 15, yaitu: menyediakan tanah untuk pembangunan dan menjaga supaya tanah yang sedang dipakai jangan ditelantarkan sampai rusak
“Dalam rangka pelestarian sumber daya manusia, tanah dan air dan dalam rangka pelaksanaan pasal 15 Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu berusaha supaya tanah tidak menjadi rusak, telah disiapkan rangka tolok 1 ukur, yang dinamakan Wilayah Tanah Usaha disingkat WTU.
Dengan demikian WTU adalah perangkat untuk mencegah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, khususnya pasal 11. Adanya WTU ini memu-dahkan usaha untuk mengarahkan letak bidang-bidang penggunaan tanah yang dituntut oleh keperluan pembangunan.
Cara pemberian fatwa tersebut diatur berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 tahun 1978. Kriteria teknis untuk pemberian fatwa mencakup:
  • lokasi dan fungsi dari permukaan laut
  • penggunaan tanah sekitarnya
  • kualitas tanah yang menyangkut lereng, drainase, kedalaman tanah
  • dan sifat-sifat fisiknya
  • penggunaan tanah pada saat ini
  • keadaan air (hidrologl)
  • status tanah dan siapa yang menggarap sekarang
  • akibat-akibat lingkungan yang ditimbulkan jenis penggunaan yang dimohon
  • faktor sosial ekonomi lainnya
Kriteria tersebut dijelaskan dalam risalah fatwa, yang berisikan uraian  dan peta peta yang diperlukan. Penggunaan tanah dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar menurut sifat polanya, yaitu:
  • pengunaan tanah pedusunan (rural land use) dan
  • tanah perkotaan (urban land
Kedua pola penggunaan tersebut memiliki tujuan yang sangat berbeda. Penggunaan tanah pedusunan pertama-tama dititik-beratkan kepada tujuan produksi pertanian; karena itu penggunaan di bagian ini; berasaskan: Lestari, Optimal, dan Seimbang (LOS). Penggunaan taAahj perkotaan pertama-tama dititik-beratkan kepada tujuan tempat tinggal,! karena itu penggunaan tanah perkotaan berasaskan: Aman, Tertib, Lancar! dan Sehat (ATLAS).  Dalam rangka pelaksanaan proyek-proyeki pembangunan, tanah hanya bisa dlsediakan bagi suatu proyek, apabila jenis proyek dan syaratnya jelas. Hanya sesudah adanya pernyataan proyek secara jelas dapat dicarikan tanah yang sesuai, yaitu tanah yang akan dapat digunakan bagi keperluan proyek tersebut dengan hambatan segi hukum dan fisiknya yang diperkirakan paling kecil

2.    Hukum Perlindungan Atas Air
Berbeda dengan pengaturan-pengaturan tentang tata guna tanah yang dimulai dengan adanya UUPA pada tahun 1960, pengaturan tentang tata guna air telah ada sejak 1936, yaitu dengan ditetapkannya Algemeen Waterreglement 1936 (Peraturan Perairan Umum 1936), Stbl No. 489. Jo. Stbl. 1949 No. 98. Algemeen Waterreglement tersebut berlakunya terbatas pada Jawa dan Madura, yaitu meliputi propinsi-propinsi Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur. Pengaturan yang tertera di dalamnya dititikberat-kan pada kegiatan-kegiatan untuk mengatur dan mengurus salah satu bidang penggunaan air saja, akan tetapi tidak memberikan dasar yang kuat untuk usaha-usaha pengembangan/pemanfaatan air dan atau sumber-sumber air, guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Menglngat terbatasnya ruang lingkup wilayah serta ruang lingkup urusan, maka Algemeen Waterreglement tersebut sudah tidak memadai.
Sehubungan dengan itu telah ditetapkan Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, pada tanggal 26 Desember 1974. Undang-undang ini bersifat nasional dan disesuaikan dengan perkembangan keadaan di Indonesia, ditinjau dari segi ekonomi, sosial dan teknologi, dan memberi landasan bagi penyusunan peraturan perundang-undangan selanjutnya.
Terdapat beberapa pengertian dalam pasal 19 diantaranya: (a) Atr adalah semua air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah; tidak termasuk dalam pengertian air yang terdapat di laut; (b) Sumber-sumber Air adalah tempat-tempat dan wadah-wadah air, baik yang terdapat di atas, maupun di bawah permukaan tanah; (c) Pengairan adalah suatu bldang pembinaan atas air, sumber-sumber air, termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di dalamnya, baik yang alamiah maupun yang telah diusahakan oleh manusia. (d.) TataPengaturon Air adalah segala usaha untuk mengatur pembinaan seperti pemilikan, penguasaan, dan pengawasan atas air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di dalamnya, guna mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dalam memenuhi hajat hidup dan peri kehidupan rakyat. (e) Tata Pengairan adalah susunan dan letak sumber-sumber air dan / atau bangunan bangunan pengairan menurut ketentuan-ketentuan teknik pembinaannya di suatu wilayah pengairan tertentu; (f) Tata Atr adalah susunan dan letak air seperti dimaksud dalam (a).
Pasal 2 menyatakan, Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, seperti dimaksud dalam pasal 1 angka 3, 4 dan 5 Undang-undang ini mempunyai fungsi sosial serta digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 3 berbunyi: (1) Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seperti dimaksud dalam pasal 1 angka, 3, 4 dan 5 Undang-undang ini dikuasai oleh Negara. (2) Hak menguasai oleh Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk:
  • Mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumber-sumber air;
  • Menyusun, mengesahkan, dan atau memberi izin berdasarkan perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan;
  • Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan, penggunaan, penyediaan air, dan atau sumber-sumber air;
  • Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin pengusahaan air, dan atau sumber-sumber air;
  • Menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air. (3) Pel«ksanaan atas ketentuan ayat (2) pasal ini tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Berkaitan dengan perlindungan hukum atas air pasal 13 UU ini menyatakan: (1) Air, sumber-sumber air beserta bangunan-bangunan pengairan harus dilindungi serta diamankan, dipertahankan dan dijaga kelestariannya, supaya dapat memenuhi fungsinya sebagaimana tersebut dalam pasal 2 Undang-undang ini, dengan jalan:
  • melakukan usaha-usaha penyelamatan tanah dan air;
  • melakukan pengamanan dan pengendalian daya rusak air terhadap sumber-sumbernya dan daerah sekitarnya;
  • melakukan pencegahan terhadap terjadinya pengotoran air, yang dapat merugikan penggunaan serta lingkungannya;
  • melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap bangunan-banguan pengairan sehingga tetap berfungsi sebagaimana mestinya. (2) Pelaksanaan ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka keluarlah Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Penggunaan Air. Disamping itu, ditetapkan pula Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1982 tentang Irigasi, pada tanggal yang sama yaitu 12 Agustus 1982. Dalam pasal 1 butir i dicantumkan, bahwa irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian. Kedua Peraturan Pemerintah tersebut diatas dilandaskan pula pada Undang-Undang Lingkungan Hidup, sehingga menganut asas dan prinsip pokok yang tertera di dalam UU Lingkungan Hidup tersebut.
Berkaitan dengan perlindungan hukum atas air dan sekaligus perlindungan tanah dapat dikemukakan pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS). Yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang dipisahkan dart wilayah lainnya oleh topografi dan merupakan:
  • satu satuan wilayah tata air yang menampung dan menyimpan air hujan yang jatuh diatasnya untuk kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut;
  • satu satuan ekosistem dengan unsur-unsur utamanya sumber daya alam, flora, fauna, tanah dan air serta manusia dan segala aktivitasnya yang berinteraksi satu sama lain.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dimaksudkan sebagai upaya manusia di dalam mengendalikan hubungan timbal baik antara sumber daya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dianggap perlu untuk memecahkan masalah erosi dan perluasan tanah kritis yang terdapat di hulu sungai. Peningkatan daya dukung antara lain dapat ditempuh melalui:
  • Konservasi, yaitu merubah jenis penggunaan tanah ke arah usaha yang lebih menguntungkan, tetapi masih sesuai dengan kemampuan wilayahnya;
  • Intensifikasi dengan penggunaan teknologi baru dalam usaha tani;
  • Konservasi atau pengawetan tanah, yaitu pencegahan kerusakan lahan dan peningkatan kesuburannya.

BAB III
HUKUM PERLINDUNGAN 

ATAS SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Perlindungan hukum atas sumber daya alam hayati dapat terlihat pada pasal 12 UU No. 4 Tahun 1982 yang menyatakan, “Ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam penjelasannya dikatakan: Pengertian konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mengandung tiga aspek, yaitu:
  • perlindungan sistem penyangga kehidupan;
  • pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara;
  • pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam pengertian konservasi tersebut diatas termasuk pula perlindungan jenis hewan yang tata cara hidupnya tidak diatur oleh manusia, tumbuh-tumbuhan yang telah menjadi langka atau terancam punah, dan hutan lindung”.
Mengenai konservasi sumber daya alam hayati ini telah terdapat peraturan perundang-undangan sejak zaman Hindia Belanda yaitu diantaranya Dierenbeschermingsordonantie 1931, Jachtordonantte Java en Madura 1940, Natuurbeschermingsordonantie 1941.
Peraturan perundang-undangan di zaman kemerdekaan meliputi diantaranya bidang kehutanan yaitu: UU No. 5 Tahun 1967 tertanggal 24 Mei 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Di bidang Perlindungan Binatang Liar telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970 tertanggal 26 Agustus 1970 tentang Tambahan Ketentuan Dierenbeschermingsordonantie 1931 jo. Dieren-beschermingsverordening 1931. Dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 716/1980 tertanggal 4 Oktober 1980 telah ditetapkan daftar reptil, ikan dan mamalia air yang dilindungi. Pada tanggal 10 Agustus 1990 telah diundangkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara R.I. tahun 1990 Nomor 49) dan Penjelasannya (Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 3419). UU ini, yang disebut UU Konservasi Hayati, mencabut berlakunya Dierenbeschermingsordonantie 1931,Jachtordonantie Java en Madura 1940, Natuurbeschermingsordonantie 1941.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 ini20 dicantumkan antara lain beberapa pengertian sebagai berikut:
  1. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
  2. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap meme-lihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
  3. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati yang saling tergantung dan saling memengaruhi.
  4. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
  5. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
  6. Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
  7. Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unit, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keselurahan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.
  8. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
  9. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempu-nyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaat-kan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata, dan rekreasi.
  10. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
  11. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Pasal 2 UU ini menetapkan, bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan selmbang. Tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menurut pasal 3 UU ini adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pasal 4 menyatakan, bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekoslstemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Pasal 5 mengatakan, bahwa konservasl sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
  • pelindungan sistem penyangga kehidupan;
  • pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
  • pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Dalam pasal 6 ditetapkan, bahwa sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk. Pasal 11 menyatakan, bahwa pengawetan keanekragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dilaksanakan melalui kegiatan:
  • pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
  • pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
Pasal 37 ayat (1) dan (2) menetapkan tentang peran serta rakyat. Bahwa peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Bahwa dalam mengembangkan peran serta rakyat, pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem-nya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
Pasal 39 UU ini22 menyatakan, bahwa penyidikan dilakukan baik oleh pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, maupun pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 40 ayat (1) s/d (4) mengatur tentang ketentuan pidana, yaitu barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1), yaitu melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam, dan pasal 33 ayat (1), yaitu melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak dua ratus juta rupiah. Bahwa apabila dengan sengaja dilakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), yaitu melakukan kegiatan terhadap tumbuhan dan satwa yang dilindungi, serta pasal 33 ayat (3), yaitu melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wlsata alam, dipidana dengan pidana penjara pallng lama lima tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah. Apabila terjadi kelalaian, maka pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah.

BAB IV
HUKUM PERLINDUNGAN ATAS CAGAR BUDAYA
Pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1982 berbunyi: ketentuan tentang perlindungan cagar budaya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam penjelasannya dikatakan, perlindungan cagar budaya ditujukan kepada konservasi peninggalan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur.
Peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan pening-galan-peninggalan sejarah dan kepurbakalaan sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan, yaitu dengan dikeluarkannya Monwnenten Ordonantie 1931 (Stbl. No. 238 tahun 1931), lazimnya dlsingkat MO.
Pasal 1 MO tersebut berbunyi:
(1)   Dengan pengertian monumen dalam ordonansi ini dimaksudkan:
  • benda-benda bergerak maupun tak bergerak buatan tangan manusia, bagian atau kelompok benda-benda dan juga sisa-sisa, yang pokoknya lebih tua dari 50 tahun atau termasuk masa langgam berusia sekurang-kurangnya 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai pentingbagi prasejarah, sejarah atau kesenian;
  • benda-benda yang dianggap mempunyai nllai penting dipandang dari sudut paleoanthropologi;
  • situs dengan petunjuk beralasan (gegrond) bahwa di dalamnya terdapat benda-benda yang dimaksud pada ad. a dan b, satu dan lain sepanjang benda-benda tersebut, baik secara tetap maupun sementara, dicantumkan dalam daftar yang disebut daftar monumen pusat yang disusun dan dikelola oleh kepala dinas purbakala dan yang terbuka bagi umum.
(2) Benda-benda bergerak atau tidak bergerak yang menurut tujuarr semula atau tujuan masa kini termasuk dalam kelompok benda-benda tersebut dalam (1) a dan demikian pula situs yang tanaman-nya, bangunannya atau keadaan pada umumnya memiliki atau dapat memiliki kepentingan langsung dengan benda-benda di bawah ayat (1) a dipersamakan dan didaftarkan bersamaan dengan benda-benda di bawah ayat (1) a. Pengertian “monumen” seperti tertera di atas dengan demikian tidak hanya menyangkut benda-benda bergerak dan benda-benda tak bergerak sebagai hasil buatan manusia yang berasal lebih kurang 50 tahun tetapi juga situs-situsnya bahkan tanamannya serta bangunan-bangunan yang mempunyai kepentingan yang langsung bagi “monumen” menurut pengertian MO tersebut.
Bentuk-bentuk pelanggaran hukum/gangguan di bidang cagar budaya berupa antara lain: (a) pelanggaran hukum yang ditentukan oleh Monumenten Ordonantie tahun 1931 No. 238. (b) bentuk-bentuk gangguan lainnya yang menyebabkan rusak atau hilangnya benda-benda/cagar budaya nasional antara lain karena:
  • Adanya perang.
  • Adanya infiltrasi kebudayaan.
  • Adanya gangguan alam seperti: banjir, gempa bumi, iklim, dan proses biokimia.
  • Adanya penggunaan benda-benda/cagar budaya sebagai obyek perdagangan untuk kepentingan pribadi oleh mereka yang justru memahami manfaat benda-benda/cagar budaya tersebut. Hal ini menimbulkan adanya pencurian, pemindahan-pemindahan, dan penyelundupan-penyelundupan.
  • Adanya ancaman terhadap benda-benda/cagar budaya nasional yang makin meningkat dengan bertambahnya keinginan orang asing sebagai kolektor benda-benda purbakala. Benda-benda tersebut diselundupkan ke luar negeri dengan memanfaatkan kemajuan komunikasi/transportasi modern serta banyaknya or-ang asing datang dan bekerja di Indonesia. Disinyalir adanya sindikat-sindikat yang bergerak baik di dalam maupun di luar negeri dalam rangka memeroleh benda-benda cagar budaya nasional secara tidak sah. Pemilikan secara tidak sah terhadap benda-benda cagar budaya nasional tidak terbatas lagi pada benda-benda yang bernilai budaya akan tetapi juga terhadap benda-benda yang bernilai religius (keagamaan) seperti terdapat diantaranya di Bali yang sangat menggelisahkan masyarakat setempat.
Penanggulangan terhadap kerusakan/kemusnahan benda-benda warisan budaya akibat pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas i didasarkan atas ketentuan-ketentuan sebagaimana tercantum antara lain ! dalam peraturan-peraturan tersebut dibawah ini:
  1. Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 15 Agustus 1972 No. 8/M/1972 tentang Pengamanan Benda-benda Purbakala.
  2. Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 8 Januari 1973 No. 1/A. 1/1973 tentang Kerjasama Kepala Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kepolisian Negara RI dalam Pengamanan/Penyelamatan Cagar Budaya Nasional/Indonesia.
  3. Instruksi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban tanggal 8 Januari 1973 No. INS 002/KOPKAMTIB/I/1973 tentang Pengamanan Cagar Budaya Nasional/Indonesia.
  4. Surat Kepala Kepolisian RI tanggal 23 April 1973 Petunjuk Pelaksanaan No. Juklak/LIT/IV/1973 tentang Operasi Pengamanan dan Penyelamatan Benda-benda Purbakala.
  5. Surat Kepala Kepolisian RI Tanggal 10 Januari 1976 Nopol. Polsus/ 17/76 tentang Pengamanan, Penyelamatan dan Perlindungan Benda-benda Cagar Budaya Nasional beserta lampirannya.
  6. Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tanggal 10 Maret 1980, No. 87/MPK/1980, Perihal: Pembentukan Team Gabungan Perlindungan Cagar Budaya di Daerah Tingkat I. Kepada. Semua Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Provinsi Seluruh Indonesia.
Perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indone-sia (pasal 2). Lingkup pengaturan undang-undang ini meliputi benda cagar budaya, benda yang diduga benda cagar budaya, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya, dan situs (pasal 3). Pasal 4 ayat (1) UU ini menyatakan, bahwa semua benda cagar budaya dikuasai oleh negara. Pen-jelasan ayat ini menyatakan, bahwa penguasaan oleh negara mempunyai arti bahwa negara pada tingkat tertinggi berhak menyelenggarakan pengaturan segala perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian benda cagar budaya. Pelestarian tersebut ditujukan untuk kepentingan umum, yaitu pengaturan benda cagar budaya harus dapat menunjang pem-bangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata, dan lain-lain. Ayat 2 melanjutkan, bahwa penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut diatas meliputi benda cagar budaya yang terdapat di wllayah hukum Republik Indonesia.
Selanjutnya pasal 15 menyatakan, (1) bahwa setiap orang dilararig merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. (2) Tanpa izin dari pemerintah setiap orang dilarang:
  • membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia;
  • memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lain-nya;
  • mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat;
  • mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya;
  • memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya;
  • memperdagangkan atau memperjual belikan atau memperniagakan benda cagar budaya.

BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dengan adanya hukum perlindungan atas lingkungan akan mampu memperkecil akan adanya kerusakan lingkungan / Hukum perlindungan lingkungan dapat mencegah kerusakan lingkungan.
B.    Saran
Dengan ditetapkannya Hukum Lingkungan maka  sebagai masyarakat harus ikut melestarikan lingkungan dengan penuh kesadaran bukan semata-mata karena keterikatan suatu hukum.