Pilih ekonomi atau lingkungan?

Pilih ekonomi atau lingkungan?

Ragam
ARIF PITOYO

(pemkomedan.go.id)
JAKARTA: Indonesia sangat kaya dengan sumber daya hutan. Namun, apabila salah urus, maka kekayaan tersebut malah bisa memicu bencana.

Potensi HTI & HPH

Potensi hutan tanaman industri (HTI) bisa mencapai 14,5 juta ha dalam waktu kurang dari 10 tahun dibandingkan saat ini 9 juta ha, sehingga dapat memproduksi kayu 362,5 juta m3 serta perolehan devisa US$70 miliar. Adapun produktivitas kayu di hutan industri mencapai 25 m3 per yang dipergunakan untuk pulp 40 juta m3 dan plywood 30 juta m3.

Saat ini izin HTI mencapai 9 juta ha. Namun, HTI yang sudah ditanami hanya 4,3 juta ha atau 47,8%, sehingga masih banyak areal HTI yang belum ditanami.

Sementara itu, dari 9 juta ha hutan tanaman industri hanya 70% atau 6,3 juta ha yang dapat ditanami, sedangkan sisanya tidak dapat ditanami, karena untuk infrastruktur seperti jalan dan sebagainya.

Terkait dengan hutan produksi, saat ini terdapat 80 juta ha hutan produksi. Dari total itu, hanya 28 juta ha yang dimiliki 303 pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH), 10 juta ha dimiliki 140 pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI), dan 10 juta ha dimiliki pemegang izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan.

Dari total 303 HPH, hanya separuhnya aktif. Sekira 150 HPH tidak aktif, artinya memegang izin tapi tidak ada aktivitas apapun dalam kawasan hutan. Arealnya lantas ditutup atau menjadi kebun dan tambang. Ini banyak terjadi di Kalimantan Tengah.

Kebijakan kehutanan

Kebijakan yang terkait dengan kehutanan memang sangat sulit dan pelik, terutama antara pilihan ekonomi atau kelestarian lingkungan.

Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Pertambangan Bawah Tanah bisa menjadi gambaran antara dua pilihan di atas.

Kerusakan hutan

Lebih dari 60% kawasan hutan konservasi di Bengkulu sudah mengalami kerusakan akibat perambahan oleh masyarakat yang mengalihfungsikan kawasan menjadi pemukiman dan perkebunan.

Hutan Lindung Gunung Soputan merupakan hutan lindung yang paling parah. Kawasan hutannya hanya tersisa sekitar 30% karena penebangan liar. Kawasan hutan lindung Taman Nasional Kutai di Desa Martadinata, Desa Suka Rahmat, dan Desa Suka Damai di Kecamatan Teluk Pandan, Kutai Timur, Kaltim, kian hancur (75% rusak) oleh berbagai aktivitas yang merusak lingkungan, di antaranya pembalakan liar, pembukaan lahan tanpa izin, dan penambangan galian C, yakni menggali dan mengambil batu gunung kebutuhan bangunan.

Pemerintah akan mengeluarkan atau merelokasi warga di kawasan hutan produksi yang berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), di Kabupaten Merangin, Jambi, serta yang telanjur masuk TNKS. TNKS yang dirambah dan telah dijadikan perkebunan kopi sekitar 2.000 ha, sedangkan di kawasan hutan penyangga TNKS sekitar 8.000 ha.

Kerusakan juga meliputi lahan gambut di Kalteng. Dari total 3,6 juta ha lahan gambut, 1,4 juta ha di antaranya rusak. Kerusakan terjadi akibat proyek lahan gambut (PLG) sejuta ha di masa Orde Baru. Lahan itu terdapat di Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, Barito Timur, dan Palangkaraya.

Eksplorasi panas bumi di hutan


Hampir 80% potensi panas bumi berada di kawasan hutan lindung dan konservasi. Pemerintah menyiapkan peraturan presiden tentang penggunaan hutan lindung untuk tambang bawah tanah guna pengembangan energi panas bumi nasional.

Kementerian Kehutanan siap menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk eksplorasi dan eksploitasi panas bumi begitu aturan terbit.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Kehutanan melarang penambangan terbuka di hutan, terutama di kawasan lindung. Aturan ini dinilai menghambat pertumbuhan investasi panas bumi. Dengan dibuatnya perpres sebagai turunan dari UU No 39/2004, menjadi solusi bagi kegiatan tambang bawah tanah di hutan lindung untuk eksplorasi panas bumi.

Saat ini, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk eksploitasi panas bumi baru berjalan di Jawa Barat (64,7 ha) dan Sumatera Selatan (17,3 ha).

Pemanfaatan hasil hutan


Pemerintah hanya mengizinkan investor pulp dan kertas untuk memanfaatkan kayu dari hutan alam sampai 2012. Oleh karena itu investor harus menambah kecepatan menanam lahan konsesi hutan tanaman industri (HTI) untuk memenuhi stok bahan baku jangka panjang.

Pemanfaatan kayu dari proses pembersihan areal konsesi HTI di hutan alam tetap dibenarkan. Oleh karena itu, dunia usaha masih dapat memanfaatkan kayu hasil pembersihan lahan dengan izin konsesi HTI.

Peluang ekspor pulp and paper sangat besar menyusul krisis di Eropa dan Amerika Serikat. Sekitar 50% perusahaan pulp di AS sudah tutup. Kelebihan lainnya, pertumbuhan pohon di Tanah Air 4-5 kali lipat lebih cepat dibandingkan dengan pohon di luar negeri.

Tarik ulur moratorium

Meski jumlah luasan hutan moratorium kini mencapai 72 juta hektare (ha) dari semula 64 juta, hutan tetap mempunyai risiko untuk punah. Pemerintah tidak memiliki pendirian dalam menentukan konsep moratorium hutan.

Contoh nyata ketidakjelasan konsep pemerintah terlihat pada tarik ulur konsep moratorium yang akan diadopsi pemerintah dalam peraturan presiden (perpres) tentang moratorium. Skema program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) sebagai upaya mitigasi terhadap perubahan iklim global memicu ketertarikan Norwegia mengucurkan bantuan hingga US$1 miliar untuk mengurangi pemanasan global yang dituangkan dalam Letter of Intenet (LoI).

Dalam LoI itu disebutkan salah satu syarat pencairan dana adalah Indonesia harus melakukan moratorium kehutanan atau penghentian izin penebangan hutan selama 2011-2012.

Proposal moratorium

Terdapat 2 draf proposal moratorium, yakni draf versi satuan tugas (satgas) REDD+ pimpinan Kuntoro Mangkusubroto dan draf versi Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian yang didukung Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup yang secara jelas memperlihatkan perang kepentingan antara pihak yang menyuarakan pelestarian lingkungan dan pihak pengusaha hutan.

Draf versi satgas REDD+ mencakup penghentian penebangan hutan primer (hutan perawan/asli) dan sekunder (hutan yang tumbuh kembali secara alami setelah ditebang atau kerusakan yang cukup luas) dengan keluasan hutan mencapai 64 juta ha.

Sebaliknya draf versi Kemenko masih memungkinkan perpanjangan izin-izin pengelolaan hutan sekunder. Karena itu, luas hutan dalam draf itu Iebih kecil, hanya sekitar 42,6 juta ha.

Moratorium bukan berarti tunda konversi

Moratorium konversi hutan berarti suatu kebijakan pemerintah untuk menunda melakukan konversi hutan primer dan lahan gambut. Laju deforestasi di Indonesia sangat tinggi dan paling tinggi di hutan rawa gambut. Kondisi hutan rawa gambut saat ini sangat kritis. Emisi CO2 dari lahan gambut adalah sumber GRK utama di Indonesia.

Luas hutan primer di Indonesia diperkirakan oleh Dephut sebagai 57,9 juta ha pada 2005 (Dephut 2009), sementara rancangan Strategi Nasional REDD+ mengutip angka 43,8 juta ha (Stranas REDD+, draft 1).

Implikasinya, kalau moratorium menyangkut hutan primer, akan berdampak pada pemanfaatan hutan dan lahan pada sebagian hutan primer seluas 29,6 juta ha di Tanah Papua dan 14-28 juta ha di pulau lain di Indonesia yang berfungsi sebagai hutan produksi.

Kalteng jadi percontohan


Pada Desember 2010. Kalimantan Tengah terpilih sebagai provinsi percontohan dalam rangka implementasi program Pengurangan Emisi akibat Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).

Keputusan menjadikan Kalteng sebagai provinsi percontohan dari sembilan kandidat provinsi diambil dalam rapat kabinet, 23 Desember 2010. Pertimbangannya, selain sebagai provinsi berkawasan hutan luas dan menghadapi ancaman besar deforestasi, Kalteng juga dinilai memperlihatkan komitmen kuat memerangi deforestasi.

Ada sejumlah tantangan dalam penerapan proyek REDD+ di Kalteng dan di daerah lainnya. Pertama, situasi dan kelembagaan sosial belum siap untuk menerima proyek itu. Masalah kedua, REDD+ tidak menjawab persoalan deforestasi karena hanya diterapkan di beberapa titik. Padahal, di tempat lain, ada jutaan hektar lahan hutan yang dikonversi menjadi nonhutan.

Kalau REDD+ diterapkan, kawasan yang bersangkutan menjadi kawasan zero access. Masyarakat setempat tidak bisa masuk, padahal mereka masih membutuhkannya, misalnya, untuk pertanian.

Konflik di Kalimantan

Konflik kehutanan di Kalimantan semakin mencemaskan, sehingga pemerintah harus mempercepat pengukuhan kawasan hutan dan memperluas areal hutan untuk masyarakat.

Potensi konflik sektor kehutanan di Indonesia semakin meningkat seperti di Kalimantan Tengah yang kekayaan tambang dan mineralnya terus menjadi incaran perusahaan swasta nasional dan asing. Konflik itu disebabkan ruang kelola kawasan hutan oleh masyarakat semakin berkurang dan izin konsesi semakin mudah diterbitkan di berbagai daerah yang kawasan hutannya masih sangat luas.

Ada sekitar 69 kasus sengketa kehutanan yang terjadi di 10 provinsi didominasi konflik antara masyarakat dan Kementerian Kehutanan. Total area yang disengketakan mencapai sekitar 843.000 ha. Contohnya salah satu perusahaan izin pelepasan untuk kegiatan pertambangan belum dikeluarkan, tetapi setelah di cek di lapangan sudah ada kegiatan pertambangan.

Tumpang-tindih perizinan sektor kehutanan di Kalimantan Tengah mencapai 316 unit perusahaan perkebunan dengan luas areal 3,75 juta ha. Adapun,konsesi tambang, sekitar 669 perusahaan di seluruh provinsi dengan luas 2,74 juta ha.

Seruan pengusaha hutan

Pengusaha kehutanan dan perkebunan kelapa sawit meminta pemerintah membatalkan rencana moratorium di hutan primer dan lahan gambut. Mereka khawatir kebijakan itu hanya akan menyenangkan pihak asing, tetapi berdampak buruk pada pembangunan domestik.

Seruan itu disampaikan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Saat ini, 398 anggota APHI mengelola 35 juta ha hutan produksi, dan anggota Gapki memakai 7,9 juta ha lahan.

0 komentar:

Posting Komentar