kelestarian alam orang hutan


ORANGUTAN DAN KELESTARIAN ALAM KITA

Posted by pak cah on April 25, 2011
(Seri Indonesia dan Kita – 11)
Bagaimana kita membaca mimik wajah binatang yang kita lihat di Taman Safari ? Apakah itu wajah yang senang karena dipelihara dan dimanja, ataukah wajah kesedihan karena menjadi tontonan dan telah kehilangan hutan ? Sayang, kita tidak bisa banyak bertanya kepada para binatang yang menjadi obyek wisata itu. Namun paling tidak, setiap kali kita ke kebun binatang atau ke Taman Safari, selalu mengingatkan kita tentang alam yang semakin terancam kelestariannya.
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi (lagi) Taman Safari di Cisarua, Bogor. Salah satu obyek menarik adalah beberapa binatang yang dilindungi, dan dijadikan hiburan untuk berpose bersama para pengunjung. Dengan membayar sepuluh ribu rupiah, kita berkesempatan masuk ke dalam arena satwa tertentu, dan berpotret bersama binatang dengan dipandu seorang petugas. Ada harimau dan orangutan yang telah dilatih untuk berpose bersama manusia.
Saya memilih berpose dengan orangutan, saya kira karena bentuknya sangat mirip dengan manusia, sehingga lebih adil membandingkan siapa yang lebih cakep dari kami berdua. Saya duduk di arena yang telah disediakan, dan dengan sangat terlatih, oarangutan itu duduk di pangkuan saya bahkan tangannya merangkul saya dari arah atas. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran orangutan tersebut, kalau saja ia berpikir. Saya juga yakin, orangutan itu tidak tahu apa yang saya pikirkan saat berpose bersama itu.
Pikiran saya memang menerawang jauh, ke dalam hutan-hutan kita di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, yang semakin kehilangan fungsi. Hutan kita telah banyak digunduli, hutan kita telah banyak menjadi sarang penyamun berdasi. Hutan kita telah tidak rimbun lagi, karena banyaknya penebangan liar, pencurian kayu, pembakaran hutan, dan alih fungsi hutan. Akhirnya hutan tidak lagi menjadi rumah yang nyaman bagi satwa liar, yang menjadi salah satu penjaga ekosistem kita.
Kisah orangutan kita sangat mengenaskan. Sampai sampai Presiden SBY menyampaikan peringatan, ”Populasi orangutan berkurang karena hutan sebagai rumahnya makin mengecil. Dengan melestarikan hutan, kita akan melestarikan orangutan”. Namun sayang, peringatan ini baru sebatas ungkapan yang belum ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang tegas dalam menjaga dan memelihara hutan kita. Masih sangat banyak kalangan pejabat ikut terlibat merusak hutan.
Sejarah orangutan dimulai pada periode Pleiston, dua juta hingga satu juta tahun yang lalu, dengan penyebaran hampir mencakup sebagian besar Asia Tenggara. Populasi orangutan perlahan namun pasti semakin berkurang dan hanya dapat dijumpai di daerah Kalimantan dan Sumatra. Dengan kata lain, orangutan sekarang pada tahap akan punah. Hal ini dapat kita lihat pada Daftar Merah Mamalia IUNC (IUNC Red List of Mammals), berdasarkan Appendix 1 CITIS, populasi orangutan Borneo diperkirakan tingal sekitar 50.000 individu saja di alam, sedangkan spesies Sumatra hanya tersisa tidak lebih dari 6.650 individu saja. Jumlah yang sangat sedikit.
Sesungguhnyalah spesies orangutan Borneo atau orangutan Kalimantan, semakin lama semakin mengenaskan. Habitat aslinya yang berupa hutan telah beralih fungsi menjadi areal tambang, perkebunan, pertanian, atau mengalami kebakaran. Lebih tragis lagi, orangutan telah diperdagangkan untuk bisnis satwa yang beromset milyaran rupiah. Contoh terakhir, 50 ekor orangutan kita menjadi koleksi hiburan di Thailand, dan untuk memulangkan kembali perlu negosasi yang panjang dan rumit. Dalam dunia perdagangan satwa, seekor orangutan bisa terjual di pasaran internasional antara liamaratus juta sampai satu milyar rupiah.
Sebenarnya sudah ada undang-undang yang melindungi orangutan ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1990. Secara tegas undang-undang tersebut melarang individu untuk menangkap, memelihara, memindahkan dan memperdagangkan hewan yang dilindungi dalam kondisi hidup, atau mindahkan hewan yang dilindungi di dalam atau di luar wilayah Indonesia. Namun beginilah wajah hukum di negara kita, selalu ada negosiasi dalam pelaksanaannya. Selalu ada upaya untuk menghindarkan diri dari jeratannya. Semua bisa diatur, semua bisa diminta “kebijaksanaannya”.
Hal yang perlu disadari oleh semua komponen bangsa adalah, bahwa orangutan dan hutan memiliki ikatan yang kuat dan saling membutuhkan. Mereka hidup, berkomunitas, berkegiatan, merasakan kebebasan, dan akhirnya akan mati di hutan. Bila orangutan merasa terganggu, berarti hutan sudah tidak lagi menjadi rumah yang aman dan nyaman baginya. Hutan kita sudah menjadi ajang kerakusan manusia. Akhirnya satwa pun merasa tidak nyaman tinggal di dalamnya. Kerusakan negeri kita karena korupsi dan kolusi, bisa dilihat dari wajah hutan dan wajah orangutannya.
Konservasi orangutan dan habitatnya, tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem yang lain, namun juga mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang besar untuk menghadapi ancaman perubahan iklim global. Akibat kerakusan, keserakahan, ketamakan dan kebiadaban manusia, hutan kita semakin tidak nyaman bagi satwa. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus terjadi, akan berpotensi semakin merusakkan keseimbangan alam dan kehidupan. Hidup kita semakin terancam, karena udara segar hutan yang bisa menyeimbangkan polusi kota, akan semakin mengecil dan memudar perannya. Fungsi hutan untuk mencegah pemanasan global semakin tidak berarti.
Sungguh, saat memangku orangutan di arena Taman Safari Cisarua, yang terbayang oleh saya adalah betapa kejinya manusia. Hukum mereka langgar, hutan mereka gunduli, satwa mereka perdagangkan, konservasi alam mereka korbankan, kayu mereka curi, aparat penegak hukum mereka beli. Komplit sudah penderitaan siapapun yang tinggal di negeri ini, baik hutan, satwa, tumbuhan maupun manusianya sendiri. Tak ada tempat yang aman dan ramah lagi. Kota sudah penuh polusi. Perkantoran sudah penuh korupsi dan kolusi. Hukum sudah penuh negosiasi. Hutan sudah semakin digunduli.
Mungkin lebih enak menjadi orangutan, karena kelak tidak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar