Ulat Bulu, Kerusakan dan Kelestarian Alam

Berita di media cetak maupun elektronik beberapa minggu ini sering memberitakan tentang fenomena merebaknya ulat bulu di berbagai pelosok wilayah tanah air yang bermula dari Jawa Timur dan sekarang sudah banyak menyebar di berbagai wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Lampung.

FENOMENA seperti ini menjadi sangat meresahkan warga masyarakat yang memiliki kebun atau lahan pertanian bahkan sampai masyarakat perkotaan. Sebab, ulat bulu bukan hanya memakan dedaunan pohon dan tanaman perkebunan dan pertanian, melainkan juga menempel di tembok-tembok pagar bahkan rumah warga.
    Pertanyaannya, apakah kejadian ini berkaitan dengan rusaknya ekosistem global akibat penghancuran hutan serta ekosistemnya secara besar-besaran sehingga menyebabkan bencana alam? Apakah semua itu juga akibat pembangunan yang tidak berbasis lingkungan?
    Menurut data Bappenas dan Bakornas PB 2006, di Indonesia periode 2003–2005 saja terjadi 1.429 kejadian bencana, sekitar 53,3% adalah bencana hidro-meteorologi, 34% adalah bencana banjir, dan 16% adalah bencana longsor.
    Jika kita membuktikan secara nyata sekarang ini kita merasakan suhu udara pada siang hari sangat panas sekali rentan akan mengakibatkan kekeringan, di sisi lain hujan deras pun diikuti dengan angin kencang sering kita lihat di daerah kita ini sehingga kini susah untuk memprediksi kapan musim kering dan kapan musim penghujan.
    Hal itu sejalan dengan laporan Indonesia Country Report 2007 bahwa pemanasan global akan mengakibatkan kekeringan dan curah hujan ekstrem yang pada gilirannya akan menimbulkan risiko bencana iklim yang lebih besar bahkan United Nation Office for the Coordination of Human Affairs (UNOCHA) mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana iklim.
    Bagaimana kaitannya dengan ulat bulu, kerusakan lingkungan dengan kelestarian alam? Ulat merupakan salah satu hewan yang berada di dalam ekosistem bumi dan menjadi salah satu rantai makanan yang berperan penting dalam keseimbangan ekologi yang memiliki keunikan karena memiliki siklus/daur hidup dari telur menjadi ulat, menjadi kepompong, kemudian mengubah bentuknya menjadi kupu-kupu. Jenis kupu-kupu pun bermacam-macam sesuai dengan jenis ulatnya. Salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhannya yaitu faktor lingkungan yang meliputi makanan, suhu, kelembaban, udara, air, dan cahaya matahari.
    Merajalelanya ulat bulu sekarang ini kemungkinan besar adalah hilangnya keseimbangan ekosistem bumi mulai hilang. Mengapa demikian? Karena perubahan siklus iklim di bumi yang secara ekstrem sehingga akan memengaruhi pola dan cara makhluk hidup untuk bertahan hidup yang memerlukan lingkungan yang memadai, makanan yang mencukupi sehingga mereka mampu hidup secara terus-menerus.
    Selain itu, dapat pula disebabkan terputusnya rantai makanan yang secara biologis merupakan pemangsa dari ulat bulu tersebut yaitu burung pemakan ulat karena perubahan ekosistem yang sangat drastis/perburuan secara terus-menerus sehingga bermigrasi atau berpindah tempat yang memungkinkan untuk bertahan hidup.
    Pemerintah dan masyarakat seharusnya peka terhadap kejadian atau fenomena-fenomena di sekitar kita, begitu juga bagaimana cara menanggulangi kejadian itu, dan yang mulai dilupakan bahwa ulat adalah mangsa utama burung pemakan ulat, sehingga jawabannya bukan dengan menggunakan bahan kimia untuk memberantas ulat tersebut, melainkan dengan cara biologi yaitu dengan burung pemangsa ulat. Burung pun membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk dapat bertahan hidup, baik dari segi habitat tempat hidupnya maupun ketersediaan makanannya.
    Tidak dipungkiri, kini kerusakan lingkungan terus terjadi seiring dengan kebutuhan manusia yang semakin meningkat sehingga kebutuhan akan pentingnya kelestarian dan keseimbangan lingkungan minim untuk menjadi bahan perhatian. Padahal jumlah penduduk yang banyak memerlukan sumber daya alam yang banyak pula seperti sandang, pangan, lahan, dan perumahan yang setiap hari berton-ton bahan makanan, kebutuhan lahan, kebutuhan bahan bangunan dibutuhkan manusia untuk mencukupi kebutuhannya.
    Dari kenyataan itu perubahan drastis kualitas lingkungan dan sumber daya alam terjadi, baik di kota maupun di desa-desa wilayah pedalaman. Sebagai contoh di kota dapat mengeksploitasi sumber daya alam dari daerah sekitarnya untuk mencukupi kebutuhan penduduknya. Jika tidak ada koordinasi, komunikasi, dan kerja sama yang baik antardaerah, akan semakin menimbulkan dampak bencana yang lebih besar terhadap kualitas lingkungan alam sekitar kita, seperti masalah longsor, banjir, sampah, polusi udara, polusi air, dan polusi suara. Ketika dampak itu semakin banyak dan semakin meluas, maka akan menimbulkan masalah lingkungan yang lainnya seperti sekarang ini di wilayah perkotaan yaitu banyak penduduk yang menginvasi daerah perbukitan yang mulanya bukit berhutan kemudian digerus pohon-pohon ditebang, daerah berawa, bahkan danau yang tempat catchments area ditimbun untuk dijadikan permukiman, sehingga keseimbangan lingkungan mulai terganggu.
    Tidak heran jika ketika hujan turun, banjir di wilayah perkotaan terjadi. Musim kering panjang, maka terjadi kekeringan. Sedangkan untuk wilayah desa-desa pedalaman, banyak para pengusaha bahkan masyarakat yang merusak habitat tempat hidup flora dan fauna untuk digantikan dengan tanaman perkebunan, pertanian, dan pertambangan demi untuk mencukupi kebutuhannya. Akhirnya dampak rusaknya lingkungan terjadi secara bersamaan, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan yang sama-sama akan mengalami perubahan siklus alami dari ekosistem alam semesta yang salah satu bagian terkecilnya yaitu munculnya ulat bulu dalam jumlah yang banyak terjadi di mana-mana, sedangkan predatornya banyak yang punah.
    Di sinilah mulai terasa sangat penting bahwa suatu ekosistem alam yang berkaitan dengan masyarakat tetumbuhan, hewan, dan manusia memerlukan manajemen yang baik untuk keberlanjutan hidup makhluk hidup di muka bumi ini agar keseimbangan alam tetap terjaga sampai anak cucu kita nanti. Gerakan peduli terhadap hutan, lingkungan, dan alam semesta belumlah banyak dilakukan walaupun berbagai forum, komunitas, organisasi yang berkaitan dengannya baik di tingkatan lokal, nasional, dan internasional telah dibentuk dan memiliki banyak program-program, tapi belum banyak menunjukkan perubahan atas kualitas lingkungan semakin membaik. Momentum Hari Bumi setiap 22 April menjadi salah satu spirit untuk kita sebagai khalifah di muka bumi ini agar lebih bijak dalam memperlakukan lingkungan di atas kebutuhan hidup kita yang semakin bertambah.

0 komentar:

Posting Komentar